
Mekanisme Penahanan Tersangka/Terdakwa Dalam Sistem Peradilan Pidana Ditinjau daru Hak Azasi Manusia
Pertanyaan :
Jawaban :
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak masa transisi dari era orde baru ke era reformasi bahkan hingga sampai saat ini, perbincangan pelanggaran hak asasi manusia masih selalu mewarnai dinamika politik maupun hukum di negara Indonesia. Teriakan akan pelanggaran hak asasi manusia dan ketidakadilan paling lantang dipekikkan, sehingga ungkapan-ungkapan moral modern harus dipahami sebagai rangkaian fragmen-fragmen pergulatan masa lalu, yang masih bertahan, namun tidak ada perekat sosial yang sanggup memberinya kekuatan. Jeritan atas pelanggaran hak asasi manusia dan hujatan atas ketidakadilan muncul dalam serpihan-serpihan tersebut.1 Perlunya perlindungan akan hak asasi manusia, kesejahteraan, transparansi dan kontrol sosial, berarti segala tindakan penguasa harus didasarkan atas hukum, bukan atas kekuasaan belaka. Hal ini dimaksudkan agar membatasi kekuasaan penguasa dan bertujuan melindungi kepentingan masyarakat, yaitu perlindungan terhadap hak asasi manusia anggota masyarakat dari tindakan sewenang-wenang.2 Sehubungan dengan hal di atas, patut disyukuri bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi dan menghormati hak asasi manusia. Dalam konteks penegakan hukum, penghormatan terhadap 1 Karen Lebacqz, Teori Teori Keadilan, Terjemahan Yudi Santoso, Nusa Media, Bandung, 1986, hlm. 1 2 Syaiful Bakhri, Hukum Pembuktian Dalam Praktik Peradilan Pidana, Total Media, Yogyakarta, 2009, hlm. 1 2 hak asasi manusia tercermin pada tata cara penegakan hukum yang adil bagi pencari keadilan melalui mekanisme peradilan pidana, yaitu dibentuknya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana atau disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Menurut Bambang Poernomo3 dalam bukunya “Pola Dasar Teori Asas Umum Hukum Acara Pidana dan Penegakan Hukum Pidana”, hukum acara pidana adalah pengetahuan tentang hukum acara dengan segala bentuk dan manifestasinya yang meliputi berbagai aspek proses penyelenggaraan perkara pidana dalam hal terjadi dugaan perbuatan pidana yang diakibatkan oleh pelanggaran hukum pidana. Di bagian lain, Van Bemmelen berpendapat bahwa ilmu hukum acara pidana berarti mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara karena adnya dugaan terjadi pelanggaran undang-undang pidana.4 Adapun Moeljatno mengkonstruksikan kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP) sebagai hukum pidana formil yaitu hukum yang mengatur tata cara negara mencari pelaku kejahatan dan menentukan hukuman apa yang harus dijatuhkan atau kenakan kepada si pembuat (si pelanggar) melalui mekanisme peradilan pidana. Sependapat dengan itu, van Hattum mengatakan hukum pidana formal adalah peraturan yang mengatur 3 Bambang Poernomo, Pola Dasar Teori Asas Umum Hukum Acara Pidana dan Penegakan Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1993, hlm. 25 4 Van Hattum, Hand en Leerboek van het Nederlanse Strafrecht l, S, Goouda uint D. Brouwer en Zoon, Arnhem, MArtinus Nijhoff, s’ Gravenhage, 1953, hlm. 48 3 bagaimana caranya hukum pidana yang bersifat abstark itu harus diberlakukan secara nyata.5 Dengan demikian, dari beberapa pendapat pakar hukum di atas, dapat diketahui dan dipahami bahwa kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP) merupakan hukum pidana formil yang mengatur tata cara pelaksanaan penegakan hukum dalam peradilan pidana baik di tingkat penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan di sidang pengadilan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Samidjo, yakni : Hukum acara pidana adalah rangkaian peraturan hukum yang menentukan bagaimana cara-cara mengajukan ke depan pengadilan, perkara-perkara kepidanaan, dan bagaimana cara-cara menjatuhkan hukuman oleh hakim, jika ada orang yang disangka melanggar hukum pidana yang telah ditetapkan sebelum perbuatan melanggar hukum itu terjadi; dengan kata lain, hukum acara pidana ialah hukum yang mengatur tata cara bagaimana alat-alat negara (Kepolisian, Kejaksaan, dan Hakim Pengadilan) harus bertindak jika terjadi pelanggaran.6 Hukum Acara Pidana atau KUHAP, pada prinsipnya menempatkan kedudukan hak asasi manusia pada posisi yang strategis. Dengan adanya KUHAP, maka setiap tindakan aparat penegak hukum dalam menegakkan hukum harus berpedoman pada KUHAP agar tidak terjadi pelanggaran hukum. Sebab, pada hakikatnya, penegakan hak asasi manusia merupakan suatu upaya untuk berfungsinya norma hukum dalam bentuk perundangundangan sebagai pedoman, agar dalam pergaulan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tercipta hubungan yang harmonis antara warga negara dengan warga negara, dan warga negara dengan pemerintah. Dengan 5 Ibid, hlm, 48 6 Samidjo, Pengantar Ilmu Hukum, CV. Armico, Bandung, 1985, hlm. 189 4 itu, penghormatan hak asasi manusia, keadilan dan kepastian hukum dapat tercapai sesuai dengan apa yang dicita-citakan. Secara konstitusional, sistem hukum Indonesia menganut serta memegang teguh asas legalitas. Sistem ini menuntut kepada setiap warga negara termasuk kepada aparatur penegak hukum agar dalam melaksanakan hak, kewenangan dan kebebasannya wajib tunduk pada ketentuan tertulis dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini juga sebagaimana yang diamanahkan dalam ketentuan Pasal 28 J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) tahun 1945, yang berbunyi sebagai berikut : Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Dengan batas-batas yang diberikan dalam undang-undang, tidak saja melahirkan kepastian hukum, melainkan juga menuumbuhkan kesadaran hukum masyarakat, sehingga individu-individu masyarakat memiliki kepercayaan bahwa mereka benar-benar merasa terjamin tidak akan disentuh oleh mekanisme hukum pidana termasuk tindakan penahanan tanpa landasan hukum tertulis yang telah ada dahulu. Di samping itu, dasar yang jelas-jelas dibenarkan oleh undang-undang (legal principle).7 Menyangkut tindakan penahanan tersangka atau penahanan terdakwa oleh aparat penegak hukum, pada prinsipnya telah diatur dan ditetapkan 7 Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Balai Penerbit UNDIP, Semarang, 2018, hlm. 22 5 dalam kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP). Perintah penahanan atau penetapan penahanan dilakukan terhadap tersangka dan/atau terdakwa berdasarkan bukti yang cukup dan dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka dan/atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, atau mengulangi tindak pidana, dengan tujuan untuk memperlancar proses pemeriksaan perkara pidana yang sedang berjalan. Dalam ketentuan Pasal 21 ayat (1) KUHAP, yang pada intinya menentukan syarat penahanan dengan kalimat “dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran” bahwa tersangka dan/atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, atau mengulangi tindak pidana; frasa “kekhawatiran” berarti suatu hal yang ditimbulkan oleh suatu keadaan nyata yang dapat dinilai oleh orang lain. Keadaan yang dimaksud harus dapat dinilai oleh orang lain, seperti misalnya : sering mangkir secara tidak patut atas panggilan pemeriksaan, tidak memiliki tempat tinggal yang tetap, dan tidak memberikan jaminan orang atau jaminan uang. Tegasnya, “kekhawatiran” aparat penegak hukum itu harus ditimbulkan oleh “adanya keadaan nyata atau situasi nyata”, dan penilaian itu tidak boleh bersifat spekulasi/prediksi atau penilaian yang bersifat tendensius, karena keadaan nyata yang dimaksud itu, harus dapat diuji oleh orang lain selain dari aparat penegak hukum. Apabila syarat-syarat tersebut dipenuhi dalam penahanan, maka hal tersebut tidak termasuk pelanggaran hak asasi manusia. Sebab, penahanan yang demikian sudah sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh negara dan dijamin oleh hukum yang berlaku. Suatu 6 negara hukum harus menjamin dan memberikan perlindungan hak asasi manusia, dengan membatasi segala tindakan melalui hukum (undangundang). Namun, pada kenyataannya, praktik penahanan yang dilakukan aparat penegak hukum terhadap tersangka dan/atau terdakwa justru dilakukan menyimpang dari ketentuan tertulis yang ditetapkan dalam KUHAP sebagai hukum pidana formil di Indonesia. Akibatnya, terjadi pelanggaran hak asasi manusia dalam tindakan penahanan tersangka dan/atau terdakwa di Indonesia. Seperti halnya yang dilaporkan oleh MR. P. Kooijmans, spesial repporteur yang ditunjuk oleh Commission of Human Rihgts (Komisi Hak Asasi Manusia PBB) untuk mempelajari tuduhan terhadap Indonesia tentang terjadinya pelanggaran hak-hak asasi manusia di Indonesia. Laporan tersebut antara lain : pelaksanaan KUHAP sudah maksimal, tetapi praktik-praktik pelanggaran hak asasi manusia (torture) tetap terjadi.8 Pada bagian lain, penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Kemitraan Partnership pada tahun 2011 tentang penegakan hukum dalam peradilan pidana di Indonesia menghasilkan kesimpulan yang sangat mengejutkan yaitu praktik pelanggaran hak asasi manusia dalam bentuk penyiksaan di Indonesia adalah terlarang (illegal), tapi kenyataannya meluas, sistematis, dan melembaga, sehingga masih membutuhkan kerja keras kita semua untuk memberantasnya.9 8 Ibid 9 Kemitraan Partnertship https://media.neliti.com/media/publications/425-ID-mengukur-realitasdan-persepsi-penyiksaan-di-indonesia-melalui-indeks-penyiksaan.pdf 7 Demikian pula halnya dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta pada tahun 2012 menemukan bahwa aparat Kepolisian secara konsisten menjadi pelaku pelanggaran hak asasi manusia dalam bentuk penyiksaan pada proses penangkapan, pemeriksaan, maupun penahanan.10 Merujuk pada laporan MR.P Kooijmans yang mengungkapkan pelaksanaan KUHAP di Indonesia sudah maksimal, namum praktik-praktik pelanggaran hak asasi manusia (torture) tetap terjadi, ini disebabkan oleh karena penahanan tersangka dan/atau terdakwa dilakukan dengan alasanalasan yang tidak terdapat dalam KUHAP. Dengan kata lain, penahanan tersebut dilakukan dengan cara adanya kekeliruan (kesengajaan) penafsiran kalimat dan maksud dari ketentuan Pasal 21 ayat (1) undang-undang hukum acara pidana (KUHAP), terutama terhadap syarat penahanan termasuk objek penahanan, yaitu : kalimat yang menyebutkan “dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran” ditafsirkan menjadi “dalam hal adanya kekhawatiran” atau “karena dikhawatirkan”. Kekeliruan (kesengajaan) penafsiran yang demikian, hampir senada dengan teori kebohongan yang diintroduksi oleh Joseph Goebbels yang merupakan seorang filsuf Jerman pada zaman Hitler berkuasa di Jerman, mengatakan bahwa “kebohongan yang sempurna dengan mempelintir sedikit saja dari undang-undang”. 10 LBH Jakarta, https://www.bantuanhukum.or.id/Kepolisian-dalam-bayang-bayang-penyiksaanweb.pdf 8 Selain kekeliruan penafsiran di atas, tindakan penahanan terhadap tersangka dan/atau terdakwa juga dilakukan dengan alasan-alasan lain berupa analogis seperti : karena alasan sosiologis (mendapat sorotan dari masyarakat), kemudian alasan bahwa penahanan adalah hak prerogatif aparat penegak hukum, seolah-olah penahanan tersangka dan/atau terdakwa menjadi hak istimewa aparatur penegak hukum, dan mereka (aparatur penegak hukum) seolah-oleh dengan bebas berhak menentukan siapa yang ditahan dan siapa yang tidak ditahan, siapa yang dikhawatirkan dan siapa yang tidak dikhawatirkan. Akibatnya, penahanan semakin tidak sesuai dengan yang dikehendaki undang-undang hukum acara pidana (inkonsistensi), dan terlihat bersifat pemidanaan sementara, atau bisa dikategorikan sebagai bentuk penyiksaan atau penekanan secara psikologi (pressure psiologis) terhadap tersangka dan/atau terdakwa untuk tujuan tertentu, seperti yang dilakukan terhadap Andro CS, yang ditahan selama dua tahun tujuh bulan dalam tuduhan pembunuhan ternyata putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia menyatakan Andro CS bukan pelaku kejahatan yang dituduhkan dan harus bebas.11 Kemudian, kasus yang dialami oleh Karen Agustiawan (mantan Direktur Pertamina) yang sudah ditahan kurang lebih 16 (enam belas) bulan dalam kasus dugaan korupsi.12 Sama halnya dengan yang dialami Tajudin di 11 Andro CS, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190717200630-12-413087/kilas-balik12 Karen Bebas, https://mediaindonesia.com/read/detail/295378-ma-bebaskan-karen-agustiawan 9 Tangerang Selatan dalam kasus dugaan eksploitasi anak, yang juga divonis bebas oleh pengadilan.13 Keadaan demikian, telah mempertontonkan pengingkaran atas asas legalitas yang menjadi titik sentral baik dalam hukum pidana materill maupun formil. Pengingkaran atau penyimpangan terhadap asas legalitas sebagai asas tertinggi dalam hukum pidana, dikatakan Teguh Prasetyo adalah memenuhi unsur sifat melawan hukum pidana formil. Karena perbuatan melawan hukum formil, yaitu perbuatan melawan hukum apabila perbuatan tersebut sudah diatur dalam undang-undang, sandarannya adalah hukum yang tertulis.14 Adapun Sidharta berpendapat bahwa perbuatan melawan hukum dalam lapangan hukum pidana mengarah ke pemaknaan yang menyempit (restriktif), yakni lebih mengarah kepada sifat melawan hukum formal (formele wederrechtelijkheid). Hukum lazimnya mengacu pada ketentuan norma positif dalam sistem perundang-undangan pidana yang telah ada, tertulis, dan berlaku sebelum perbuatan dilakukan, sehingga pelanggaran terhadap hukum formil adalah pelanggaran serius terhadap asas legalitas.15 Diakui bahwa KUHAP telah memberikan kewenangan-kewenagan hukum kepada negara melalui aparat penegak hukumnya untuk melakukan tindakan penahanan, dan hal ini merupakan sumber kewenangan dan kekuasaan bagi berbagai pihak yang terlibat dalam proses ini (Polisi, Jaksa, 13 Tajudin Bebas, https://news.detik.com/berita/d-3395049/penjual-cobek-divonis-bebas-polisidiminta-lebih-profesional 14 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm. 65 15 Sidharta, Bussines Law, Mandar Maju, Bandung, 2015, hlm. 6 10 Hakim, Penasehat Hukum).16 Namun, jika wewenang demikian itu pelaksanaannya tidak sesuai dengan ketentuan yang tertulis di dalamnya (KUHAP), maka tindakan itu merupakan perbuatan hukum pidana formal. Dengan demikian pula, apabila tindakan aparatur penegak hukum dilakukan secara melawan hukum, baik disengaja maupun karena kelalaian, dan berakibat mengurangi, menghalangi, membatasi, dan mencabut hak asasi manusia seseorang, maka tindakan tersebut dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Sebagaimana pula, tindakan penahanan yang dilakukan aparatur penegak hukum terhadap tersangka dan/atau terdakwa, yang selama ini dipraktikkan dengan kekeliruan (kesengejaan) penafsiran kalimat dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP mengenai alasan penahanan, dipastikan akan berakibat menimbulkan penderitaan yang hebat bagi generasi bangsa, dan dapat merusak cita cita luhur bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Hal ini pula berimplikasi pada pelaksanaan penegakan hukum dalam mekanisme sistem peradilan pidana di Indonesia yang tidak berkepastian hukum dan inkonsistensi. Berdasarkan hal tersebut, maka menarik untuk dikaji dan diteliti terkait dengan permasalahan-permasalahan mekanisme penahanan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia ditinjau dari hak asasi manusia. Untuk itu, sebagai pendukung dalam penelitian ini, penulis merujuk pada beberapa penelitian terdahulu, antara lain : 16 Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Manusia, Pusat Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1994, hlm. 25 11 1) Penelitian pertama dilakukan oleh I Nyoman Arnita, dengan judul “Perlindungan Hak-Hak Tersangka Dalam Penahanan Ditinjau Dari Aspek Hak Asasi Manusia” (Tesis, Program Magister Ilmu Hukum Universitas Sam Ratulangi, Manado, 2013). Dalam penelitiannya, I Nyoman Arnita pada intinya mengkritisi soal tindakan kekerasan pada saat interogasi, dan diskriminasi terhadap tahanan soal perbedaan usia, yang terjadi pada peradilan pidana tingkat penyidikan. Meskipun sekilas I Nyoman Arnita mengharapkan supaya Tersangka yang kooperatif tidak ditahan, namun pada prinsipnya, I Nyoman sepakat bahwa syarat objektif penahanan adalah Ketentuan Pasal 21 ayat (4) KUHAP.17 2) Penelitian Kedua dilakukan oleh Eka Risky Rasdiana, dengan judul “Penerapan Hukum Pembuktian Pada Perkara Pidana Pada Tahap Penyelidikan dan Penyidikan” (Tesis, Program Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2018). Pada penelitian kedua ini, hasil penelitian menyatakan bahwa pada pokoknya menegaskan suatu gagasan yang tidak jauh berbeda dengan penelitian yang pertama yang dilakukan I Nyoman Arnita. Dalam penelitiannya ini, Eka Risky Rasdiana berpendapat bahwa hakim pra peradilan menguji, apakah penahanan yang dilakukan penyidik telah memenuhi prosedur yakni : syarat objektif PAsal 21 ayat (4) KUHAP, sedangkan syarat subjektif : apakah penyidik sudah menjelaskan tentang 17 I Nyoman Arnita, https://media.neliti.com/media/publications/873-ID-perlindungan-hak-haktersangka-dalam-penahanan-ditinjau-dari-aspek-hak-asasi-manusia.pdf 12 apa yang dimaksud, akan melarikan diri, merusak/menghilangkan barang bukti dan/atau mengulangi perbuatan pidana. Meskipun Eka Risky Rasdiana menggunakan rujukan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 yang mengatur tentang bukti permulaan yang cukup pada tahap penyelidikan untuk membuktikan perbuatan itu adalah tindak pidana, minimal harus terdapat 2 (dua) alat Bukti. Dua alat bukti di sini adalah alat bukti yang memiliki kualitas hukum pembuktian yang primer atau menentukan. Dan laporan polisi (LP) atau pengaduan tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti menetapkan seseorang menjadi tersangka. Namun demikian gagasan ini tidak mengurangi masalah pelanggaran hak asasi manusia dalam tindakan penahanan. Karena pokok masalah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia dalam tindakan penahanan adalah disebabkan oleh adanya kekeliruan mengartikan syarat subjektif dan syarat objektif terkait dengan penahanan yang diatur dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP.18 3) Penelitian Ketiga dilakukan oleh Paramita Edward, dengan judul “Kewenangan Pejabat Penyidik Kepolisian Dalam Melakukan Penahanan Berdasarkan Asas Diskresi” (Tesis, Program Magister Ilmu Hukum Universitas Pakuan, Bogor, 2019). Dalam penelitian ketiga ini, Paramita Edward pada intinya membenarkan bahwa tata cara pelaksanaan penahanan oleh aparatur penegak selama ini sudah sesuai dan sejalan dengan KUHAP yaitu syarat 18 Eka.Risky,Rasdiana, https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle 13 subjektif Pasal 21 ayat (1) dan syarat Objektif Pasal 21 ayat (4) KUHAP. Untuk itu, Paramita Edward menghendaki adanya perubahan syarat penahanan yang diatur dalam KUHAP atau adanya suatu peraturan perundang-undangan yang mampu membatasi tindakan penyidik saat melakukan penahanan terhadap tersangka. Padahal, yang kita hendaki adalah aparatur penegak hukum termasuk penyidik, dapat dengan bebas melakukan tugas dan kewenagannya termasuk dalam tindakan penahanan, hanya saja pelaksanaan kewenangan itu, harus dilakukan sesuai dengan aturan yang ada.19 4) Penelitian Keempat dilakukan oleh Christovel F. Panggey, dengan judul “Analisis Hukum Acara Pidana Terhadap Pertimbangan Syarat Subjektif Oleh Penyidik Sebagai Dasar Penahanan Dalam Pasal 21 Ayat (1) KUHAP” (Jurnal Lex Crimen. Vol.VII/No. 2/April/2018). Penelitian keempat ini mengemukakan beberapa pendapat, yaitu : pertama, syarat objektif penahanan adalah Pasal 21 ayat (4) KUHAP dan syarat subjektif adalah Pasal 21 ayat (1) KUHAP. Kedua, dikatakan syarat subjektif PAsal 21 ayat (1) KUHAP merupakan wilayah abu-abu, tidak jelas batasannya. Ketiga, syarat subjektif sepenuhnya bergantung pada penilaian pejabat yang berwenang dan dilakukan cukup dengan adanya kekhawatiran penyidik (penegak hukum). Pendapat seperti ini sangat bertentangan dengan KUHAP, sebab syarat subjektif dan syarat objektif yang diatur dalam PAsal 21 ayat (1) KUHAP sangat tegas, jelas, 19 Paramita Edward. File:///C:/Users/ASUS?Download/1be78887cd0fc9c92d1a89f0855942d2. pdf 14 objektif dan dapat dinilai oleh orang lain, misalnya : adanya keadaan yang dapat menimbulkan kekahwatiran bukan karena dikhawatirkan.20 . 5) Penelitian kelima dilakukan oleh Berlian Simarmata, dengan Judul “Pengawasan Terhadap Pelaksanaan Penahanan Menurut KUHAP dan Konsep RUU KUHAP” (Mimbar Hukum, 2011). Pada penelitian kelima ini, pada pokoknya Berlian Simarmata menyimpulkan bahwa syarat subjektif yang didasarkan kepada “adanya kekhawatiran penegak hukum bahwa tersangka dan/atau terdakwa akan merusak atau menghilangkan barang bukti, mengulangi tindak pidana, dan/atau melarikan diri”. Kesalahan mendasar yang menyebabkan tindakan penahanan tersangka dan/atau terdakwa terjadi sesuka hati dan melanggar hak asasi manusia adalah karena adanya kesalahan pemahaman pemikiran yaitu bahwa Pasal 21 ayat (1) dipahami sebagai syarat hak subjektif penegak hukum yang sangat subjektif. Padahal Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus jelas-jelas subjektif dan juga objektif. Dari uraian beberapa penelitian pembanding di atas, penulis menarik kesimpulan bahwa terdapat perbedaan pemahaman dan pemikiran antara penulis dengan peneliti terdahulu terkait dengan syarat subjektif dan syarat objektif dalam penahanan sebagaimana diatur dalam Pasal 21 KUHAP. Oleh karena itu penulis memiliki gagasan khusus dan khas terhadap syarat dan objek penahanan yang diatur dalam KUHAP, yaitu : Pertama, penegak hukum yang sering melanggar hak asasi manusia tersangka dan/atau terdakwa 20 Cristovel F. Panggey, Lex Crimen. File :///C:/Users/ASUS/Downloads/19598-39700-1-SM% (1),pdf 15 yaitu penyidik, jaksa penuntut umum dan hakim pemeriksa, sehingga yang dikritisi adalah seluruh penegak hukum. Kedua, Pasal 21 ayat (1) KUHAP adalah syarat subjektif dan syarat objektif yang sangat objektif. Ketiga, Pasal 21 ayat (4) adalah objek penahanan bukan syarat objektif penahanan. Keempat, Pasal 20 ayat (1), Ayat (2), dan ayat (3) adalah subjek (penahan). Perbedaan pemahaman dan pemikiran yang demikian merupakan permasalahan yang harus dipecahkan. Oleh karenanya dalam penelitian ini penulis menitikberatkan penelitian terhadap permasalahan yang terjadi berkenaan dengan mekanisme penahanan yang ditinjau dari perspektif hak asasi manusia, terutama terkait dengan syarat subjektif dan syarat objektif penahanan. Hal ini pula yang membedakan penelitian yang dilakukan oleh penulis dengan beberapa penelitian terdahulu di atas. Dengan demikian, berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk membahas dan meneliti lebih konkrit dengan menuangkannya ke dalam penulisan tesis ini yang berjudul “ Mekanisme Penahanan Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia Ditinjau Dari Perspektif Hak Asasi Manusia”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis menarik beberapa pertanyaan sebagai rumusan masalah guna membatasi topik pembahasan atas permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan tesis ini, yaitu : 1. Bagaimana mekanisme penahanan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana ? 16 2. Bagaimana perlindungan hukum bagi tersangka dan/atau terdakwa yang dalam proses penahanannya tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana ? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dilakukan penelitian ini adalah : 1. Untuk menganalisis dan mengembangkan mekanisme penahanan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. 2. Untuk menganalisis dan mengembangkan perlindungan hukum bagi tersangka dan/atau terdakwa yang dalam proses penahanannya tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. D. Kegunaan Penelitian Penelitian hukum ini diharapkan bermanfaat secara teoritis maupun praktis yang akan memperkaya khazanah ilmu pengetahuan hukum pidana khususnya berkenaan dengan tindak pidana narkotika dan pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana narkotika. 1. Aspek Teoritis Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan dan menambah sumbangan pengetahuan dalam ilmu hukum pidana, khususnya bidang kajian hukum acara pidana mengenai pelaksanaan tindakan penahanan terhadap tersangka dan/atau terdakwa yang didasari oleh KUHAP agar penegakan hukum dapat dilakukan secara benar dan fair, berperikemanusiaan dan berke-Tuhanan Yang Maha Esa. 17 2. Aspek Praktis Secara praktis, bagi penulis penelitian ini dapat mengeksplorasi ilmu yang yang diperoleh selama masa perkuliahan dalam mengkaji dan meneliti lebih mendalam sehubungan dengan topik penelitian ini yaitu mengenai penerapan asas kesalahan sebagai dasar pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana narkotika di Indonesia. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi aparat penegak hukum , yakni Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, dalam menyelenggarakan penegakan hukum yang benar, dan juga diharapkan dapat sebagai masukan dalam rangka memperbaiki citra aparat dan lembaga penegak hukum tersebut. Dengan itu, dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana, guna memberantas kejahatan dalam profesi, khususnyanya dalam tindakan penahanan, dengan harapan perbaikan kinerja penyidik, jaksa penuntut umum dan para hakim menjadi langkah awal dalam upaya menegakkan hak asasi manusia di Indonesia. E. Kerangka Pemikiran Perlindungan hukum atas hak-hak warga negara merupakan refleksi dan konsekuensi Negara Indonesia sebagai negara hukum (rechtstaat). Selain itu, Negara hukum mencerminkan prinsip equality before the law atau persamaan kedudukan setiap warga negara di hadapan hukum. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam rumusan penjelasan Pasal 1 butir 3, tegas menyebutkan “bahwa kekuasaan Negara Indonesia dijalankan 18 melalui hukum yang berlaku di Indonesia. Semua aspek kehidupan sudah diatur melalui hukum yang sah sehingga hal ini mampu mencegah konflik yang terjadi di antara warga negara”. Jika dicermati, rumusan tersebut mendeskripsikan dan menghendaki suatu kepastian hukum, yang kemudian dipertegas di dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang berbunyi “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Amanat dari Pasal 28D ayat (1) jelas dan tegas, bahwa setiap warga negara berhak atas pengakuan, jaminan dan perlindungan dari Negara melalui hukum yang sah sebagai bentuk kepastian hukum. Kepastian hukum yang dimaksud ialah pelaksanaan hukum harus tercermin dan sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh hukum yang kemudian dilaksanakan secara profesional dan konsisten, serta mengedepankan prinsip persamaan setiap orang di hadapan hukum (equality before the law) sehingga pelaksanaan yang demikian menjamin perlindungan hak-hak atau kepentingan-kepentingan masyarakat guna menjunjung tinggi hak asasi manusia. Oleh karenanya sebagai negara hukum, penegakan hukum di Indonesia haruslah dilakukan dengan suatu proses hukum yang benar (due process of law) dan tunduk pada batasan mekanisme hukum yang berlaku. Misalnya, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Pidana Khusus yang mengatur mekanisme bagi para penegak hukum dalam menjalankan dan menegakkan hukum pidana materiil. 19 Dalam konteks hukum acara pidana di Indonesia di dalamnya terkandung asas atau prinsip legalitas. Prinsip ini tegas disebutkan dalam konsideran Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada huruf a yang berbunyi “bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia (UUD RI) 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak kecualinya”. Sebagai hukum acara yang berlandaskan asas legalitas, pelaksanaan KUHAP harus bersumber pada titik tolak the rule of law. Dengan kata lain, setiap tindakan penegakan hukum harus :21 a. berdasarkan ketentuan undang-undang. Artinya penegak hukum tidak dibenarkan bertindak diluar ketentuan undang-undang, atau undue to law maupun undue process, serta bertindak sewenangwenang atau abuse of power. b. menempatkan kepentingan hukum dan perundang-undangan diatas segala-galanya, sehingga terwujud suatu kehidupan masyarakat bangsa yang takluk di bawah “supremasi hukum” yang selaras dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan dan perasaan keadilan bangsa Indonesia. Oleh karenanya setiap orang, baik tersangka atau terdakwa mempunyai kedudukan : a. sama sederajat di hadapan hukum, atau equal before the law, b. mempunyai kedudukan “perlindungan” yang sama oleh hukum, equal protection the law, c. mendapat “perlakuan keadilan” yang sama di bawah hukum, equal justice under the law. (diperlakukan menurut undang-undang). 21 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP – Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hlm. 36 20 Prinsip the rule of law dan supremasi hukum dimaksudkan untuk menguji dan meletakkan setiap tindakan penegakan hukum tunduk pada ketentuan konstitusi, undang-undang sehingga memenuhi rasa keadilan yang hidup di tengah-tengah kesadaran masyarakat. Artinya, prinsip tersebut dijadikan parameter untuk mengukur segala tindakan penegak hukum terhadap masyarakat yang sedang dihadapkan dengan proses hukum, sehingga dengan demikian masyarakat memperoleh jaminan dan perlindungan hak-haknya atas proses hukum yang dihadapinya. Proses hukum yang dilaksanakan oleh para penegak hukum juga dibatasi oleh undang-undang. Jika tidak, hal demikian akan berimplikasi pada kepercayaan setiap orang terhadap hukum itu sendiri, terlebih ketika seseorang sedang dihadapkan dengan proses hukum. Hukum akan kehilangan arti dan makna ketika dalam proses penegakan hukum itu melanggar hak asasi manusia. Akibatnya hukum bukan lagi menjadi sarana yang menjamin hak dan kepentingan masyarakat tetapi hukum digunakan sebagai instrumen untuk melegitimasi pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan para penegak hukum. Aliran positivisme ialah aliran yang menjadi penyumbang pemikiran pada ajaran kepastian hukum, yang mendasarkan pemikirannya pada ajaran yuridis-dogmatik. Di dunia hukum, para penganut aliran positivisme cenderung memandang hukum hanya sebagai suatu yang otonom dan mandiri. Hal demikian tak lain karena bagi penganut aliran ini hukum hanya dilihat sebagai suatu kumpulan aturan. Tujuannya hanya sekedar menjamin tercapainya kepastian hukum. Dengan demikian, bagi penganut pemikiran 21 positivisme ini, kepastian hukum itu diwujudkan oleh hukum hanya dengan membuat suatu aturan yang bersifat umum dan sekaligus juga sebagai bukti bahwa hukum itu tidak untuk keadilan dan kemanfaatan melainkan sematamata hanya untuk kepastian. Sebagai penganut positivisme hukum, dalam penegakan hukum di Indonesia segala tindakan para penegak hukum berpedoman pada undangundang acara pidana sehingga mereka hanya terpaku pada apa yang tertulis dalam hukum acara itu. Positivisme telah melahirkan hukum dalam deskripsi matematika, menyelesaikan permasalahan hukum yang terjadi di dalam masyarakat berdasarkan apa yang tertulis dalam undang-undang, mengkristal di posisi binernya lalu pembaca harus memahami hal itu dan tidak dibolehkan berpikir yang lain.22 Sementara itu, aparat penegak hukum menetapkan penahanan terhadapa tersangka dan/atau terdakwa dengan menafsir rumusan/teks undang-undang secara keliru (sengaja). Oleh karena itu, penahanan yang dilakukan aparat penegak hukum, sadar atau tidak sadar bahwa telah melukai hak asasi manusia Dengan demikian, keadaan semacam itu menunjukkan adanya permasalahan pelanggaran hak asasi manusia dan ketidakpastian hukum dalam penegakan hukum, khususnya dalam hak pelaksanaan undang-undang hukum acara pidana. Oleh karena itu, untuk mengkaji dan membahas permasalahan tersebut, maka penulis menggunakan beberapa teori yang dikenal dalam ilmu hukum yang relevan untuk membahas dan menganalisis 22 A. Sukris Sarmadi, Membebaskan Positivesme Hukum ke Ranah Hukum Progresif, Jurnal Dinamika Hukum, Vol 12, No 2, 2012, hlm. 331 22 permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini. Beberapa teori yang dipergunakan, antara lain : 1. Teori Kepastian Hukum Suatu perihal (keadaan), ketetapan, dan ketentuan yang pasti biasa disebut sebagai kepastian. Berkaitan dengan kepastian, secara hakiki, hukum harus mengandung perihal yang pasti dan adil. Oleh karena bersifat adil dan dilaksanakan dengan pasti, maka hukum dapat menjalankan fungsinya. Dengan demikian kepastian hukum hanya bisa dijawab secara normatif.23 Kepastian merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum, terutama norma hukum tertulis (undang-undang). Konsep kepastian hukum ditujukan untuk memberikan perlindungan pada individu terhadap tindakan kesewenang-wenangan individu lainnya. Dengan demikian, adanya kepastian hukum memberikan kejelasan, tidak menimbulkan pertentangan maupun multitafsir, serta dapat dilaksanakan dengan keterbukaan, sehingga setiap individu dapat memahami makna atas suatu ketentuan hukum. Menurut Fernando Manullang, kepastian hukum merupakan pelaksanaan hukum sesuai dengan bunyinya sehingga, masyarakat dapat memastikan bahwa hukum dilaksanakan. Dalam memahami nilai suatu kepastian hukum, yang harus diperhatikan adalah bahwa nilai itu 23 Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari :Mamahami dan Memahami Hukum, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, 2010, hlm 59 23 mempunyai relasi yang erat dengan instrument hukum yang positif dan peranan negara dalam mengaktualisasikan pada hukum positif.24 Dengan demikian, penggunaan teori kepastian hukum sebagaimana dikemukakan Fernando Manullang, adalah sebagai pisau analisis dalam menganalisis persoalan pelanggaran hukum atau pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang kita alami di Indonesia berpusat pada titik pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini juga mengingat sistem hukum Indonesia yang menganut sistem Eropa Kontinental (civil law), di mana seluruh hak dan kewajiban warga negara telah di atur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku (hukum positif), dan disusun secara sistematis secara demokratis (kodifikasi) dengan tujuan untuk menjaga kepentingan tiap-tiap orang masyarakat agar kepentingan-kepentingan itu tidak dapat diganggu oleh orang lain. Kendatipun peraturan perundang-undangan yang ada belum tentu memberikan keadilan yang absolut, namun harus ditaati dan dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hal itu dilakukan supaya dengan peraturan perundang-undangan yang ada memungkinkan seseorang termasuk aparatur penegak hukum sebagai pengendali hukum di Indonesia, dapat dengan bebas melakukan hak dan kewajibannya tanpa mengganggu hak dan kewajiban orang lain, yang bertujuan untuk menciptakan keamanan, ketertiban, dan keadilan bagi masyarakat sesuai dengan tujuan hukum. 24 Fernando Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan : Tinjauan Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai, Kompas, Jakarta, 2007, hlm. 95 24 Dengan menggunakan kepastian hukum ini, dapat menuntun penulis dalam menganalisis dan membahas permasalahan kepastian hukum atas penahanan yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum yang didasarkan pada KUHAP. Dengan demikian, dapat terhindar dari kerancuan dalam memahami pelaksanaan hukum acara pidana dalam penegakan hukum oleh aparat penegak hukum, dan pada akhirnya dapat membantu dalam membangun konstruksi beripikir dalam memahami penahanan dalam penegakan hukum tersebut. 2. Teori Hak Asasi Manusia Menurut John Locke, substansi utama hak asasi manusia adalah kebebasan, yang merupakan sisi penting bagi hukum pada umumnya dan bagi hak asasi manusia pada khususnya. Hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia tidak dapat dilepaskan dari manusia pribadi, karena tanpa kebebasan, manusia akan kehilangan harkat dan kemanusiaannya.25 Di samping kebebasan yang bersifat hak asasi, terdapat pula kebebasan yang bersifat hukum positif, atau hak-hak kewarganegaraan atau yang lebih dikenal dengan kebebasan-kebebasan politik.26 Dalam hubungannya dengan hak-hak tersebut, Locke mengungkapkan27 bahwa masyarakat dalam suatu negara tidak akan mencapai tujuannya untuk mewujudkan suatu masyarakat yang sejahtera, 25 Bahder Johan Nasution, Negara Hukum dan Hak Azasi Manusia, Mandar Maju, Bandung, 2014, hlm. 220 26 Ibid, hlm. 221 27 Ibid, hlm. 221 25 tanpa adanya keteraturan dan organisasi, tanpa wewenang dan wibawa perundang-undangan dengan sanksi-sanksi yang tegas untuk pelaksanaan undang-undang. Fungsi undang-undang dan peraturan di sini adalah untuk membatasi kebebasan bertindak dan bergerak, sejauh kebebasan tersebut tampil keluar dalam perbuatan-perbuatan lahiriah. Dari sudut kepentingan pengaturan kebebasan masyarakat itu sendiri, masalah pengaturan melalui undang-undang, dalam hal ini pada hakikatnya berfungsi mengarahkan atau mengendalikan. Jadi, bukan suatu hambatan bagi kebebasan. Menurut John Locke berlakunya hukum positif bukan tanpa batas, karena hanya sejauh ada persetujuan dari orang yang bersangkutan hukum positif ini dapat diberlakukan.28 Maksudnya, bahwa setiap orang mempunyai hak atas kebebasannya sendiri dan negara memiliki legitimasi untuk membatasi hak tersebut agar hak masing-masing individu terlindungi. Penggunaan teori hak asasi manusia sebagaimana dikemukakan John Locke di atas sebagai grand theory, karena hemat penulis, kebebasan setiap orang hanya dapat dibatasi oleh undang-undang, dalam hal ini adalah KUHAP. Pengaturan pembatasan kebebasan setiap orang tersebut juga harus secara tegas dan eksplisit diatur dan tidak memberikan ruang untuk ditafsir sesuka hati. Artinya, penafsiran harus dapat dinalar secara logis dan dapat diukur. Berdasarkan hal tersebut, maka penggunaan teori hak asasi manusia yang dikemukakan oleh John Locke dalam penelitian ini adalah untuk 28 Ibid, hlm. 225 26 mengkaji dan menganalisis mekanisme penahanan terhadap tersangka dan/atau terdakwa dalam sistem peradilan pidana Indonesia, sebagaimana yang telah ditentukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hal mana, masih banyak penahanan-penahanan yang dilakukan aparat penegak hukum saat ini sangat menciderai hak asasi manusia tersangka dan/atau terdakwa. F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian dalam penulisan tesis ini adalah penelitian yuridis normatif dan didukung penelitian empiris. Pada prinsipnya penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang menitikberatkan pada doktrindoktrin atau asas-asas dalam ilmu hukum. 29 Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji30 dalam bukunya berjudul “Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat”, penelitian yuridis normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Pengertian demikian difokuskan pada bahan yang digunakan di dalam penelitiannya berupa bahan pustaka atau data sekunder. Adapun penelitian empiris oleh Mukti Fajar ND dan Yulianto31 diartikan sebagai penelitian hukum yang mengkaji dan menganalisis tentang perilaku hukum individu atau masyarakat dalam kaitannya 29 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2017, hlm. 24 30 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm. 13-14 31 Mukti Fajar ND dan Yulianto Ahmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Hukum Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hlm. 34 27 dengan hukum dan sumber data yang digunakannya berasal dari data primer. Dengan demikian, penelitian yang dilakukan dalam penulisan tesis ini, pada dasarnya menggunakan bahan pustaka atau bahan-bahan hukum lainnya (data sekunder) sebagai acuan dalam menganalisis dan membahas permasalahan hukum yang diteliti dan didukung dengan hasil wawancara sebagai data primer, sehingga penulisan tesis ini dapat dipercaya dan dapat dipertanggungjawabkan. 2. Pendekatan Penelitian Dalam penelitian ini, penulis melakukan penelitian terhadap permasalahan mekanisme penahanan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia ditinjau dari perspektif hak asasi manusia, hal mana menurut penulis penahanan yang selama ini dilakukan oleh aparat penegak hukum dengan alasan subjektif maupun objektif telah menciderai hak asasi manusia, karena adanya kekeliruan (kesengajaan) penafsiran atas teks undang-undang sebagaimana yang tercantum dalam ketentuan Pasal 21 ayat (1) KUHAP. Untuk itu, dalam rangka menganalisis dan mengkaji permasalahan yang diteliti tersebut, guna memperoleh jawaban dari permasalahan yang diteliti tersebut diperlukan metode pendekatan penelitian. 32 Adapun pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus 32 Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penilitian Hukum Normatif, Bayu Media Publishing, 2008, hlm. 300 28 (case approach), dan pendekatan konseptual (conseptual approach) serta didukung dengan pendekatan hasil wawancara para pihak yang terkait dengan permasalahan yang diteliti. Pendekatan undang-undang atau statute approach merupakan pendekatan yang digunakan untuk mengkaji dan menganalisis ketentuan Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana dan peraturan perundang-undang lainnya yang berkaitan dengan mekanisme penahanan tersangka atau terdakwa. Sementara, pendekatan kasus atau case approach merupakan pendekatan dengan melakukan kajian terhadap perkara tindak pidana yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dengan merujuk pada ratio decidendi atau reasoning yakni pertimbangan pengadilan untuk sampai pada putusan.33 Pendekatan ini digunakan oleh karena penulis menggunakan pendekatan terhadap putusan-putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, guna menganalisis dan memperoleh jawaban dari permasalahan yang diteliti. Adapun pendekatan konseptual atau conceptual approach adalah pendekatan yang dilakukan dengan bertitik tolak dari pandanganpandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum34 pidana. Oleh karena itu, pendekatan ini digunakan untuk mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum pidana, 33 Salim H.S dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2017, hlm. 18 34 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, 2009, hlm. 93 29 sehingga dapat menuntun penulis menemukan ide-ide sebagai jawaban dari permasalahan yang diteliti. Sedangkan pendekatan wawancara adalah pendekatan yang dilakukan dengan menganalisis dan mengkaji hasil wawancara dengan pihak-pihak yang terkait dengan permasalahan yang diteliti, seperti dengan pihak Mahkamah Agung, Kejaksaaan Agung, Kepolisian, dan Akademisi hukum serta praktisi hukum. 3. Jenis dan Sumber Bahan Hukum Jenis dan Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian hukum normatif ini terdiri dari Bahan Hukum Primer, Bahan Hukum Sekunder, dan Bahan Hukum Tertier. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif, yang berarti memiliki otoritas, terdiri dari perundang-undangan, catatancatatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.35 Sementara, bahan hukum sekunder berupa publikasi tentang hukum tidak dalam golongan dokumen-dokumen resmi, seperti publikasi tentang hukum, jurnal-jurnal, dan komentarkomentar atas putusan pengadilan.36 Adapun jenis dan sumber bahan-bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini diinventarisasi dari bahan-bahan hukum sebagai berikut: a) Bahan Hukum Primer 35 Ibid, hlm. 137 36 Ibid, hlm. 137 30 (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (2) Undang-Undang 1 Tahun 1946 Tentang Kitab UndangUndang Hukum Pidana. (3) Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (4) Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. (5) Undang-Undang RI Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (6) Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Convention Against Torture And Other Cruel In Human Or Degrading Treatment or Punishment (7) Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi; (8) Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat; (9) Peraturan Perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini; (10) Dokumen berupa Putusan Pengadilan Tentang pelanggaran hukum formil. b) Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder atau tulisan-tulisan yang dapat menjelaskan bahan hukum primer, terdiri dari : Buku-Buku Ilmiah tentang Teori dan Asas-Asas Hukum Pidana, Buku 31 Tentang Hak Asasi Tersangka atau Terdakwa, Buku Negara Hukum dan HAM, serta Buku tentang Hukum Acara Pidana Di Indonesia. c) Bahan Hukum Tertier Bahan hukum atau tulisan yang berkaitan dengan penulisan tesis yakni artikel, Jurnal, Tesis, Disertasi, kamus hukum, Surat Kabar atau Majalah baik cetak maupun elektronik (internet). d) Bahan pendukung berupa hasil wawancara. 4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan pada penelitian dan penulisan tesis ini adalah Studi Kepustakaan dan Studi Dokumen serta didukung dengan wawancara. Studi Kepustakaan atau studi dokumen adalah suatu kegiatan dilakukan dengan mengumpulkan dan memeriksa atau menelusuri dokumen-dokumen atau kepustakaan yang dapat memberikan informasi atau keterangan yang dibutuhkan oleh peneliti.37 Pengumpulan bahan-bahan hukum dengan studi kepustakaan dan studi dokumen juga dilakukan dengan cara mengidentifikasi dan menginventrisasi aturan hukum positif, meneliti bahan pustaka (buku, jurnal ilmiah, laporan hasil penelitian), dan sumber-sumber bahan hukum lainnya yang relevan dengan permasalahan hukum yang diteliti. 37 M. Syamsudin, Operasionalisasi Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2006, hlm. 101 32 Sedangkan wawancara adalah kegiatan tanya jawab yang dilakukan pada instansi penegak hukum, akademisi dan praktisi hukum terkait dengan permasalahan yang diteliti, yang bertujuan untuk memperoleh informasi. Informasi tersebut direkam yang kemudian dituangkan ke dalam tulisan. 5. Teknik Analisis Bahan Hukum Teknik analisis bahan hukum dilakukan dengan cara melakukan penafsiran hukum (interpratasi) dan metode konstruksi hukum. Teknik penafsiran menggunakan beberapa teknik penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum, seperti penafsiran gramatikal, penafsiran historis, dan penafsiran resmi (otentik). Di samping itu, teknik analisis bahan hukum yang digunakan dalam penulisan tesis ini juga menggunakan analisis kualitatif, yaitu analisis yang menguraikan bahan hukum penelitian menjadi elemen-elemen melalui rangkaian kata-kata atau pernyataan secara deskriptif. Analisis kualitatif dikonstruksikan berdasarkan bahan-bahan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan, teori, makna dan substansinya dari berbagai literatur.38 Dalam hal ini, Penulis mengkaji dan menganalisis peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, dengan mengacu pada pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin, teori, dan asas-asas yang dikenal dalam ilmu hukum serta didukung hasil 38 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, 2006, hlm. 250 33 wawancara, yang bertujuan mencari jawaban atas masalah yang akan dibahas dalam penulisan tesis ini. Dalam melakukan Analisis kualitatif ini, dilakukan dengan mengidentifikasi dan menemukan pola atau tema yang ada dalam bahan hukum tersebut, sesuai dengan fokus kajian yang telah ditetapkan dalam penelitian ini. Oleh sebab bahan hukum penelitian yang digunakan pada dasarnya adalah berupa peraturan perundang-undangan dan putusanputusan pengadilan yang kemudian didukung hasil wawancara, maka identifikasi dilakukan dengan menggunakan metode deduksi, yang bertolak dari pengajuan premis mayor, kemudian diajukan premis minor, dan dari kedua premis inilah dapat ditarik suatu kesimpulan atau konklusi,39 untuk mendeskripsikan secara jelas jawaban dari permasalahan yang diteliti. 39 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum ... Op.cit, hlm. 47
BAB II TINJAUAN TEORI HAK ASASI MANUSIA TERHADAP MEKANISME PENAHANAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA A. Asas Legalitas (Legality Principle) 1. Asas Legalitas Sebagai Titik Sentral Dalam Hukum Pidana Dalam tataran ilmu hukum, khususnya hukum pidana, dikenal asas legalitas (legality principle), yang dalam bahasa latin dikatakan “nullum delictum noella poena sine praevia lege poenali” yang berarti tidak ada perbuatan yang dapat dihukum kecuali terlebih dahulu telah ada undangundang yang mengatur perbuatan tersebut. Dalam sejarah, munculnya asas ini difungsikan sebagai pembatas tindakan-tindakan penguasa, yang lahir sebagai reaksi masyarakat terhadap kekuasaan mutlak dari raja-raja pada zaman Ancien Regime. Berdasarkan sejarah itulah timbul pemikiran-pemikiran, bahwa suatu perbuatan dapat dihukum apabila tentang perbuatan tersebut telah ditentukan oleh Hukum (dalam undang-undang/ wet) terlebih dahulu mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana, agar penduduk lebih dahulu mengetahui dan tidak akan melakukan perbuatan tersebut.43 Menurut Moeljatno, mereka yang melakukan perbuatan yang dilarang, lebih dahulu telah mengetahui hukuman apa yang akan dijatuhkan/dikenakan kepadanya jika nanti melakukan perbuatan tadi, 43 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2015, hlm. 26 35 maka hal dijatuhi pidana kepadanya itu bisa dipandang sebagai sudah disetujuinya sendiri.44 Klaas Rozemond juga memberikan pandangannya mengenai dasar pemikiran asas legalitas. Menurutnya, adanya kepastian hukum (rechtszekerheid) dan legitimasi demokratis (demokratische) maka dalam penjatuhan sanksi/hukuman terhadap seseorang atas pelanggaran, harus berdasarkan undang-undang baru orang tersebut dapat ditangkap, ditahan, digeledah, disita barangnya, disadap, dan diadili.45 Pandangan demikian, sejalan dengan Cleiren dan Nijboer yang berpendapat bahwa hanya undang-undang yang menentukan apa yang dapat dipidana, dan hanya undang-undang pula yang menentukan pidana yang mana dan dalam keadaan apa pidana itu dapat diterapkan.46 Atas dasar pendapat di atas itu pula, dapat disimpulkan bahwa hukum pidana itu adalah hukum tertulis, dan tidak seorangpun dapat dihukum berdasarkan hukum kebiasaan. Hal demikian juga merefleksikan makna asas legalitas dalam hukum pidana yaitu sebagai dasar untuk menentukan dapat atau tidaknya suatu perbuatan dianggap sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana harus terlebih dahulum diatur dalam undang-undang, dan aturan itu tidak berlaku surut serta tidak boleh ber-analogi. 44 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, 2017, hlm. 27 45 Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm. 14 46 Cleiren & Nijboer, Red Strafrecht, Teket & Comementaar, 1997, hlm. 3 36 Asas legalitas ialah adanya suatu kepastian hukum. Menurut Fernando Manullang47 kepastian hukum merupakan pelaksanaan hukum sesuai dengan bunyi dalam teks undang-undang, sehingga masyarakat dapat memastikan bahwa hukum dilaksanakan. Dalam memahami nilai kepastian hukum, yang harus diperhatikan adalah bahwa nilai itu mempunyai relasi yang erat dengan instrument hukum yang positif dan peranan negara dalam mengaktualisasikannya pada hukum positif. Dalam konteks hukum acara pidana di Indonesia di dalamnya terkandung asas atau prinsip legalitas. Prinsip ini tegas disebutkan dalam konsideran Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada huruf a yang berbunyi “bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia (UUD RI) 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Sehubungan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Andi Sofyan48 mengungkapkan bahwa seluruh rumusan Pasal-Pasal dalam KUHAP, tidak ada satupun rumusan pasal-pasalnya yang memberikan kemungkinan atau mengizinkan orang untuk memberikan arti atau penafsiran yang lain kepada perkataan-perkataan yang telah digunakan oleh pembentuk undang-undang di dalam rumusan 47 Fernando Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan; Tinjauan Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai, Kompas, Jakarta, 2007, hlm. 95 48 Andy Sofyan, Hukum Acara Pidana, Prenada Media Group, Jakarta, 2016, hlm. 24 37 pasal-pasalnya. Jadi, segala perkataan-perkataan yang terdapat di dalam rumusan pasal-pasal KUHAP itu selalu ditafsirkan sesuai arti yang telah dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang, sehingga dalam tindakan menahan manusia semestinya harus sesuai menurut ketentuan tertulis di dalam KUHAP. Sebagai hukum acara yang berlandaskan asas legalitas, pelaksanaan KUHAP harus bersumber pada titik tolak the rule of law. Dengan kata lain, setiap tindakan penegakan hukum harus :49 a. berdasarkan ketentuan hukum dan undang-undang. Artinya penegak hukum tidak dibenarkan bertindak diluar ketentuan undang-undang, atau undue to law maupun undue process, serta bertindak sewenang-wenang atau abuse of power. b. menempatkan kepentingan hukum dan perundang-undangan diatas segala-galanya, sehingga terwujud suatu kehidupan masyarakat bangsa yang takluk di bawah “supremasi hukum” yang selaras dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan dan perasaan keadilan bangsa Indonesia. Oleh karenanya setiap orang, baik tersangka atau terdakwa mempunyai kedudukan : a. sama sederajat di hadapan hukum, atau equal before the law, b. mempunyai kedudukan “perlindungan” yang sama oleh hukum, equal protection the law, c. mendapat “perlakuan yang adil” yang sama di bawah hukum, equal justice under the law. Prinsip the rule of law dan supremasi hukum dimaksudkan untuk menguji dan meletakkan setiap tindakan penegakan hukum tunduk pada ketentuan konstitusi dan undang-undang. Artinya, prinsip tersebut dijadikan parameter untuk mengukur segala tindakan penegak hukum terhadap masyarakat yang sedang dihadapkan dengan proses hukum, 49 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP – Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hlm. 36 38 sehingga dengan demikian masyarakat memperoleh jaminan dan perlindungan hak-haknya atas proses hukum yang dihadapinya. Proses hukum yang dilaksanakan oleh para penegak hukum juga dibatasi oleh undang-undang. Jika tidak, hal demikian akan berimplikasi pada kepercayaan setiap orang terhadap hukum itu sendiri, terlebih ketika seseorang sedang dihadapkan dengan proses hukum. Hukum akan kehilangan arti dan makna ketika dalam proses penegakan hukum itu melanggar hak asasi manusia. Akibatnya hukum bukan lagi menjadi sarana yang menjamin hak dan kepentingan masyarakat tetapi hukum digunakan sebagai instrumen untuk melegitimasi pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan para penegak hukum. 2. Pengingkaran Terhadap Asas Legalitas Sebagai Perbuatan Melawan Hukum Dalam tataran ilmu hukum, baik ilmu hukum pidana maupun ilmu hukum perdata dikenal istilah “perbuatan melawan hukum”. Dalam konteks ilmu hukum pidana, van Hamel mengartikan hukum pidana sebagai berikut : Semua dasar-dasar dan aturan-aturan yang dianut oleh suatu negara dalam menyelenggarakan ketertiban hukum (rechtsorde) yaitu dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum dan mengenakan suatu nestapa kepada yang melanggar laranganlarangan tersebut. Hukum pidana sendiri dibagi menjadi dua bagian yaitu hukum pidana formil dan hukum pidana materiil. Hukum Pidana materiil adalah aturan tertulis yang memuat tindakantindakan apa saja yang dilarang dan apa yang boleh dilakukan. Sementara hukum pidana formil adalah seperangkat aturan yang 39 digunakan untuk menegakkan dan melaksanakan hukum pidana materiil.50 Sebagai negara hukum, Indonesia sangat memegang teguh asas legalitas sebagai asas tertinggi dalam sistem peradilan pidana. Moeljatno mengatakan asas legalitas mengandung tiga pengertian, antara lain :51 1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalua hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang; 2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogy (kias); 3. Aturan-aturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut. Setiap warga negara pada dasarnya berhak atas kebebasannya. Namun, dalam menjalankan hak dan kebebasananya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang, sehingga perbuatan atau tindakan-tindakan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dinyatakan sebagai perbuatan melawan hukum. Di dalam kehidupan sehari-hari, istilah perbuatan melawan hukum sering kita dengar. Beberapa sarjana menyebut perbuatan melawan hukum sebagai perbuatan abnormal dan kalau perbuatan itu sendiri tidak melawan hukum berarti tidak ada perbuatan abnormal. Di dalam bahasa Belanda perbuatan melawan hukum disebut wederrechtelijk. Weder artinya bertentangan dengan, melawan. Sementara recht artinya hukum. Dengan demikian maka perbuatan melawan hukum berarti perbuatan yang bertentangan dengan hukum yang berlaku. 50 https://aclc.kpk.go.id/wp-content/uploads/2019/08/Modul-Hukum-dan-Sistem-PeradilanPidana-WS-APIP.pdf 51 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana .... Op.cit, hlm. 28 40 Dilihat dari pengertiannya, perbuatan melawan hukum dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu perbuatan melawan hukum formil dan perbuatan melawan hukum materiil. Sehubungan dengan bentuk perbuatan melawan hukum tersebut, Pompe merumuskan sebagai berikut: Perbuatan melawan hukum materiil adalah perbuatan yang bertentangan dengan hukum bukan bertentangan dengan undangundang. Sementara perbuatan melawan hukum formil diartikan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang, artinya bertentangan dengan hukum positif yang tertulis, karena alasan asas nullum crimen sine lege stricta. 52 Di bagian lain, Roeslan Saleh53 berpendapat bahwa perbuatan melawan hukum harus diartikan bertentangan dengan hukum; pertama, karena menurut bahasa “bersifat melawan hukum” memang menunjuk ke jurusan “bertentangan dengan hukum”, kedua, sifat melawan hukum adalah unsur mutlak dari perbuatan pidana, yang berarti tanpa adanya sifat melawan hukum dari suatu perbuatan, tidak pula ada perbuatan pidana. Berdasarkan pengertian-pengertian yang diberikan para pakar di atas, maka dapat diketahui pula bahwa perbuatan atau tindakan seseorang yang bertentangan dengan ketentuan tertulis dalam peraturan perundangundangan merupakan perbuatan melawan hukum formil. Termasuk pula, setiap tindakan aparat penegak hukum yang bertentangan atau tidak 52 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Perkembangannya, Sof Media, Jakarta, 2018, hlm. 117 53 Roeslan Saleh, Sifat Melawan Hukum Dari Perbuatan Pidana, Aksara Baru, Bandung, 1983, hlm. 26 41 sesuai dengan hukum acara pidana, maka perbuatan tersebut juga merupakan perbuatan melawan hukum secara formil. B. Pemahaman Tentang Hak Asasi Manusia 1. Istilah Hak Asasi Manusia Pemahaman terhadap pengertian hak asasi manusia umumnya senantiasa dipahami sebagai hak kodrati yang dibawa oleh manusia sejak manusia lahir ke dunia. Sementara itu, jika ditinjau dari berbagai literatur terdapat beberapa istilah dan terjemahan terkait hak asasi manusia, yakni “droits de I’homme” dalam bahasa Perancis yang berarti hak manusia, atau “Human Rights” dalam bahasa Inggris dan dalam bahasa Belanda disebut “mensenrechten”.54 Selain daripada itu, juga digunakan istilah “basic rights” dalam bahasa inggris dan “grondrechten” dalam bahasa Belanda yang memiliki arti sebagai hak-hak dasar. Istilah lain tentang hak asasi manusia juga dikemukan oleh Philipus M. Hadjon yang menggunakan istilah “natural right” dalam bahasa Inggris, dan “recht van den mens” dalam bahasa Belanda, dan dalam bahasa indonesia digunakan istilah hak-hak asasi manusia, hak-hak kodrat, dan hak-hak dasar.55 John Locke sebagaimana dikutip Masyhur Effendi mengemukakan Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang diberikan secara langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati (hak dasar), oleh karenanya menurut Locke, tidak ada kekuasaan apa pun di dunia yang 54 Bahder Johan Nasution, Op.cit, hlm. 129 55 Philipus M. Hadjon, Loc.cit 42 dapat mencabut dari diri setiap manusia.56 Bagi hidup dan kehidupan manusia, hak ini merupakan hak yang sangat fundamental dan merupakan hak kodrati yang tidak dapat dilepas dari kehidupan manusia. Lebih lanjut, Locke mengatakan bahwa negara menerima kedaulatannya dari rakyat dengan tujuan untuk menjamin agar setiap warga negara tidak dilanggar hak-haknya dan tidak saling melanggar hak satu sama lain di antara warga negara, maka oleh karenanya negara bertugas menyelenggarakan keteraturan dan ketentraman umum.57 Sementara itu, secara yuridis, hak asasi adalah seperangkat yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan Anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.58 Untuk itu, sebagai wujud penghormatan dan penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia adalah menjaga eksistensi manusia sebagai bentuk keselamatan bagi manusia secara seimbang, baik dari segi kesimbangan hak dan kewajiban, juga maupun keseimbangan antara kepentingan perorangan dengan kepentingan umum.59 Sehubungan dengan peristilahan dan pengertian yang telah dikemukakan di atas, Bahder Johan Nasution membedakan pengertian 56 Masyhur Effendi, Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional dan Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hlm. 3 57 Bahder Johan Nasution, Op.cit, hlm. 134 58 Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 1 angka 1 59 Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi-Konstitusi Indonesia, Kencana, Jakarta, 2005, hlm. 4 43 antara hak-hak asasi dan hak-hak dasar. Menurutnya perbedaan pokok antara kedua istilah tersebut adalah bahwa hak-hak asasi menunjuk pada hak-hak yang memperoleh pengakuan secara internasional sedangkan hak-hak dasar diakui melalui hukum nasional.60 Lebih lanjut, Hadjon mengatakan bahwa konotasi hak-hak asasi manusia terkait erat dengan asas-asas idea politis yang kemudian dimuat dalam dokumen politik sehingga sifatnya lebih dinamis dibanding dengan hak-hak dasar yang merupakan bagian dari hukum dasar yang dituangkan dalam dokumen yuridis seperti UUD (konstitusi) dan dalam konvensi Internasional.61 Dengan demikian, mencermati istilah dan perbedaan di atas, pengertian hak asasi manusia kiranya harus dipahami juga sebagai hak dasar. Oleh karena istilah hak dasar maupun hak asasi manusia pada prinsipnya memiliki pengertian yang sama. Di samping itu pembatasan terhadap hak tersebut juga dilakukan secara yuridis dan moral, artinya hak asasi manusia selain diatur melalui norma-norma hukum juga dirumuskan dalam pernyataan-pernyataan politik. Kendatipun dalam literatur terdapat perbedaan dalam peristilahan maupun pengertiannya, namun esensi dari pelaksanaan hak asasi manusia dan hak-hak dasar itu adalah sama dan memiliki tujuan yang sama pula. Berpangkal dari perbedaan itu, pengertian hak asasi manusia menurut Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia adalah hak untuk kebebasan dan persamaan dalam derajat yang diperoleh sejak lahir serta 60 Bahder Johan Nasution, Op.Cit, hlm. 130 61 Ibid. 44 tidak dapat dicabut dari seseorang. Sedangkan menurut Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, hak asasi manusia diartikan sebagai hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapapun. Pengertian ini mengandung sekurang-kurangnya tiga unsur utama yang tidak boleh dicabut dari seseorang sebagai individu, yaitu, hak untuk hidup, hak untuk tidak dianiaya, dan adanya kebebasan. Oleh karena itu, untuk mengakomodir hak asasi setiap individu muncul pengakuan bahwa setiap orang berhak atas kemerdekaan dirinya sehingga dalam melaksanakan hukum dan kebebasannya, setiap orang tunduk pada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang. 2. Pemikiran Filosofis dan Teoritis Tentang Hak Asasi Manusia Secara filosofis, hak asasi manusia berpangkal dari konsep hukum alam tentang hak. Para filosof penganut pemikiran hukum alam mengkaji secara mendalam apa yang dinamakan dengan hak asasi manusia atau hak kodrati. Cicero salah satu filosof hukum alam mengatakan bahwa suatu undang-undang yang benar adalah akal yang murni yang selaras dengan alam, tersebar dalam semuanya dan tetap abadi.62 Dalam perkembangannya sampai saat ini, pemikiran atau konsep dari hukum alam tetap mempengaruhi manusia dalam mengembangkan ide dan memberik